Senin, 26 September 2011

Leonardo da Vinci



PENGANTAR
Nama Leonardo da Vinci bukanlah nama yang asing bagi kebanyakan orang. Apalagi setelah novel Dan Brown, The Da Vinci Code menghebohkan, sekaligus sukses menggoyangkan iman sebagian orang Kristen.
Namun, di balik semua itu, siapakah sosok Leonardo da Vinci ini? Sebagian orang mungkin akan menyebut dirinya sebagai seorang seniman. Buktinya adalah sejumlah lukisan, termasuk yang disebutkan dalam novel kontroversial tersebut, The Last Supper. Ada juga Mona Lisa yang terkenal itu. Tapi ada juga yang menyebutkan kalau ia bisa dikelompokkan dalam kategori ilmuwan. Ide-idenya yang brilian seperti pesawat terbang justru sudah dipikirkan olehnya, meski baru terwujud pada abad ke-20.

MASA-MASA AWAL
Leonardo berasal dari sebuah keluarga yang cukup mapan. Meskipun ibunya, Caterina di Piero, hanyalah seorang putri petani, ayahnya, Pietro d'Antonio da Vinci adalah seorang notaris di kota Florence. Ia dilahirkan di Anchiano, kota tempat tinggal leluhurnya selama sekitar dua ratus tahun, pada 14 April 1452.
Pada masa itu, Florence merupakan pusatnya para intelek dan seniman di Italia. Kondisi ekonomi keluarga yang cukup mapan itu memungkinkan Leonardo memperoleh pendidikan terbaik di kota ini. Di sekolahnya, Leonardo mempelajari geometri, membaca, menulis, matematika, dan bahasa Latin. Ia pun tumbuh sebagai seorang yang cerdas. Guru-gurunya sering dibuat pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Di Florence pulalah, sekitar 1466, Leonardo mengenal Andrea Verrocchio, pelukis dan pemahat ternama kala itu. Bersama Verrocchio, Leonardo memperoleh sejumlah keterampilan yang kemudian menjadi bekal berharganya, seperti melukis, mematung, melebur emas (goldsmithing), dan pencetakan perunggu.
SEBAGAI SENIMAN PROFESIONAL
Pada tahun 1478, Leonardo mulai mandiri sebagai seorang seniman. Meski demikian, Leonardo sudah berperan dalam lukisan Baptism of Christ karya Verrocchio pada tahun 1476. Leonardo melukis malaikat di lukisan tersebut. Namun, demikian salah satu sumber menyebutkan, tatkala Verrocchio melihat lukisan ini, ia bersumpah untuk tidak pernah melukis lagi. Dalam lukisan itu, masing-masing mereka melukis satu malaikat dan lukisan Leonardo jauh lebih indah daripada Verrocchio.
Setelah itu, Leonardo mendapat tawaran untuk mengerjakan sejumlah proyek besar. Salah satunya ialah mengerjakan relief (altarpiece) untuk sebuah kapel, Palazzo Vecchio, balai kota Florence, tetapi proyek tersebut tidak diambilnya. Lukisan besar pertamanya, The Adoration of the Magi, dibuatnya untuk Biara San. Tetapi sayang, pekerjaan itu tidak terselesaikan. Tidak jelas apa yang menjadi alasan Leonardo sehingga tidak menyelesaikan dua hal ini.
Sebagai seorang seniman profesional, Leonardo bekerja untuk sejumlah orang ternama. Di Milan, ia bekerja pada Ludovico Sforza (ada yang menyebutnya Ludovico il Moro). Tampaknya, surat Leonardolah yang kemudian meyakinkan Ludovico untuk mempekerjakan Leonardo. Dalam suratnya itu, ia menulis,
"I have a process for constructing very light, portable bridges, for the pursuit of the enemy; others more solid, which will resist fire and assault and may be easily set in place and taken to pieces. I also know ways of burning and destroying those of the enemy ... I can also construct a very manageable piece of artillery which projects inflammable materials, causing great damage to the enemy and also great terror because of the smoke ...."
Salah satu yang dikerjakan Leonardo ialah membuat patung perunggu Francesco Sforza, ayah dari Ludovico, dalam ukuran besar. Namun, seiring kepindahan Keluarga Sforza pada Desember 1499, Leonardo pun meninggalkan pekerjaan ini. Patung yang tidak selesai itu malah menjadi target para pemanah Perancis sehingga akhirnya hancur. Hal ini menandakan berakhirnya hubungan mereka, setelah pengabdian Leonardo selama tujuh belas tahun, terhitung sejak 1482. Ia kembali ke Florence.
Selain pada Ludovico, ia juga bekerja pada Cesare Borgia, seorang duke dari Romagna, putra Paus Alexander VI. Leonardo menjabat sebagai kepala arsitek dan insinyur, memberikan nasihat dalam pembangunan benteng yang menandakan teritorial kepausan di pusat kota Italia.
Pada tahun 1506, ia memenuhi panggilan Charles d'Amboise, penguasa dari Perancis. Tahun berikutnya, ia menjadi pelukis istana dan mengabdi pada Raja Perancis, Louis XIII, yang kemudian pindah ke Milan. Sembari mengurus warisan di Florence, Leonardo mengerjakan monumen Gian Giacomo Trivulzio, komandan pasukan Perancis. Untuk kesekian kalinya, karyanya ini juga tidak selesai.
Leonardo juga sempat bekerja pada Paus Leo X dalam kurun waktu 1514 hingga 1516. Tampaknya ia lebih banyak diarahkan untuk melakukan sejumlah eksperimen -- tidak jelas apa yang dikerjakan.
Terakhir, ia mengabdi pada Raja Francis I. Raja memberinya sebutan pelukis pertama, arsitek, dan mekanik raja. Tapi tampaknya, Leonardo dibiarkan melakukan pekerjaan yang ia inginkan. Jadi, ia tidak mengerjakan lukisan apa pun kecuali menyelesaikan lukisan-lukisan yang telah ia kerjakan sebelumnya. Ia juga banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan penelitian ilmiahnya.
Harus diakui bahwa Leonardo merupakan sosok yang luar biasa di bidang seni. Sejumlah karyanya merupakan karya yang monumental, yang tidak bisa ditemukan tandingannya di dunia ini. Meskipun di sepanjang kariernya sebagai seniman tidak seluruh karyanya terselesaikan, seperti lukisan St. Jerome (Hieronymus) atau The Adoration of Kings, kejeniusannya tetap diakui.
Dua karya monumentalnya, di antaranya The Last Supper (dikerjakan dalam kurun waktu 1495 -- 1497) dan Mona Lisa (dikerjakan pada 1503 -- 1506). Adapun Mona Lisa, juga dikenal sebagai La Gioconda, tampaknya memiliki arti yang khusus bagi Leonardo. Ia selalu membawa lukisan ini dalam sejumlah perjalanan yang ia lakukan.
SEBAGAI SEORANG ILMUWAN
Ia juga melakukan sejumlah penelitian ilmiah. Sejumlah teori ilmiah yang ia hasilkan didasarkan pada penelitian yang sangat teliti dan dokumentasi yang sangat akurat. Ia sangat memahami pentingnya penelitian ilmiah yang sangat akurat, jauh melebihi orang-orang sezamannya atau sesudahnya. Kegagalannya dalam menyelesaikan proyek-proyek seninya, terjadi juga dalam penelitian ilmiahnya. Ia tidak pernah bisa menyelesaikan risalah ilmiahnya ini. Meski demikian, setelah dicetak, risalahnya ini kemudian merevolusi ilmu pengetahuan abad 16.
Penelitian Leonardo meliputi beberapa bidang. Di bidang anatomi, ia mempelajari sirkulasi darah dan pergerakan mata. Di bidang meteorologi dan geologi, ia berhasil menyimpulkan adanya hubungan antara bulan dan pasang surut, menduga konsep modern bentuk benua, juga menduga asal usul kerangka fosil. Selain itu, dia adalah salah satu penemu ilmu hidrolik, mungkin juga termasuk perangkat hidrometer. Penemuan Leonardo lainnya yang bermanfaat, misalnya, pakaian selam. Selain itu, peranti terbang rancangannya juga telah menerapkan prinsip aerodinamika.
KONTROVERSI
Setidaknya, ada dua kontroversi di seputar kehidupan Leonardo. Hal pertama menyangkut kehidupan pribadinya. Leonardo disebut-sebut sebagai seorang homoseksual. Pada tahun 1476, ia dituduh telah melakukan tindakan tersebut dengan salah seorang model laki-lakinya. Saat itu, Leonardo merupakan salah seorang dari lima tertuduh. Akan tetapi, Leonardo terlepas dari tuduhan tersebut karena bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membuktikannya bersalah.
Hal kedua menyangkut imannya. Seperti kebanyakan orang Italia pada masanya, juga orang-orang Eropa pada umumnya, Leonardo merupakan seorang penganut Katolik. Sherwin Nuland menulis dalam bukunya yang berjudul Leonardo da Vinci, seorang tuan tanah memiliki detail keluarga da Vinci dan menyebutkan nama pendeta yang membaptis Leonardo, berikut sepuluh orang yang mengikuti upacara tersebut. Namun, sulit memastikan kalau Leonardo merupakan orang yang beriman teguh.
Meski demikian, Kenneth Clark, seorang ahli sejarah seni, menyebutkan, Leonardo mengasosiasikan dirinya sebagai pelopor reformasi. Ia keberatan dengan eksploitasi komersial dari relik-relik dan seni-seni religius. "Saya melihat Kristus untuk kesekian kalinya dijual dan disalibkan lagi dan murid-murid-Nya menjadi martir," katanya. Dalam catatan pribadinya, ia memprotes penjualan surat indulgensi, pertunjukan perayaan liturgi, pengakuan yang diwajibkan, dan pengultusan orang-orang suci. Ia juga menyerang para pejabat gereja yang memiliki moral, nilai, dan pendidikan yang bobrok.
Leonardo melukiskan ide-ide reformisnya melalui lukisan. Dengan caranya yang kreatif, ia menemukan bukti eksistensi dan kemahakuasaan Tuhan dalam cahaya alam, warna, tumbuh-tumbuhan, dan tubuh manusia.
AKHIR HAYAT
Leonardo da Vinci menetap di Chateau de Cloux atas undangan Raja Francis I sejak 1516. Lalu pada tahun 1517, Leonardo da Vinci menerima kunjungan Kardinal Louis Aragon. Kepada kardinal inilah ia menunjukkan karyanya yang terakhir. Ia terus menetap di Chateau de Cloux sampai akhirnya meninggal pada 2 Mei 1519. Ia dimakamkan di Gereja St. Florentin di Amboise. Tidak ada catatan mengenai penyebabnya.

Senjata-Senjata Perang Buatan Leonardo Da Vinci

1. Terminator Leonardo Da Vinci
Robot perang Leonardo Da Vinci baru ditemukan tahun 1957, saat Carlo Pedretti menemukannya di antara desain-desain Da Vinci lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Robot perang ini pertama kali disketsa oleh Da Vinci tahun 1495, disebutkan pertama pada tahun 1974, dalam Codex Madrid yang ditulis oleh Ladislao Reti, tapi baru mulai direkonstruksi ulang tahun 1996 oleh Mark Rosheim saat mempublikasikan sebuah studi independen mengenai robot bekerja sama dengan Florence Institute and Museum of the History of Science. Tahun 2002 Rosheim baru menyelesaikan keseluruhannya dengan membuat model fisik lengkap dari robot itu untuk sebuah dokumenter BBC. Sejak itu, sesosok prajurit yang yang dinamakan “Robot Leonardo” muncul di berbagai ekshibisi dan museum-museum.

Tahun 2007 Mario Taddei membuat penelitian baru mengenai dokumen-dokumen asli Da Vinci, menemukan data yang cukup untuk membangun sebuah versi dari prajurit robot itu, dengan lebih mendekati gambar desain aslinya. Robot ini didesain hanya untuk tujuan bertahan, tidak untuk perang. Gerakan-gerakannya seperti terbatas karena lengan-lengannya hanya bisa bergerak ke kanan dan ke kiri saat ditarik dengan sebuah tali. Model penting ini dipertunjukkan di berbagai ekshibisi di seluh dunia dan hasil penelitian Taddei telah dipublikasikan dalam bukunya “Robot-robot Leonardo Da Vinci”.

2. Senapan Mesin


Senapan mesin multi-laras merupakan sebuah senjata api yang hebat. Da Vinci mensketsanya sekitar tahun 1480 di Florence, mungkin sebagai jawaban atas kebutuhan raja akan seorang arsitek militer. Sebuah engkol tangan untuk mengatur elevasi dan reloading merupakan tantangan utamanya – terutama saat ditembakkan.
Meski kemampuan tembak cepat yang ada pada model senapan mesin berikutnya lebih baik, dengan desain yang luar biasa dengan mekanisme loading. Dengan melebarkan ruang tembaknya, prototipe Da Vinci dibuat dan menjadikannya sebuah senjata yang efektif melawan sebarisan pasukan. Ditambah lagi desain Da Vinci mudah dipindahkan di medan perang karena ringan dan ditempatkan di atas roda-roda.
3. Bom Cluster
Untuk membuat bombard atau cannon, sebuah senjata yang sudah dikenal saat itu, bahkan lebih mematikan, Da Vinci juga mendesain proyektil-proyektil besar, terdiri dari tempurung di sekeliling spacers besi dan dipasangkan di dalam casing yang lunak. Sekali ditembakkan, penemuan ini meledak menjadi banyak pecahan-pecahan. Hal itu menjadikan range tembak dan impact yang lebih besar daripada sebuah peluru cannon.
4. Kereta Perang
Ini adalah salah satu manuskrip Da Vinci yang paling cantik. Dia membuat sketsa kuda menarik kereta terbuka yang dilindungi dengan pedang-pedang tajam dan melingkar yang bergerak di tengah pertempuran, membunuh semua di dekatnya. Pedang-pedang yang berputar khusus didesain untuk menebas lengan-lengan korbannya. Dalam salah satu gambarnya, Da Vinci mengilustrasikan pembantaian dalam detil yang mengerikan.
5. Cannon Baris
Gambar ini ada pada halaman pertama dari Codex Atlanticus. Gambarnya sendiri sangat legkap dan mengagumkan, mengilustrasikan rencana sebuah bombard dengan 16 cannon dalam suatu lingkaran. Aspek yang paling menariknya adalah pada pusat bombard itu sendiri, yang merupakan tempat sepasang tongkat mekanis dan roda-roda gir, membuatnya seperti sebuah senjata yang sangat besar.

6. Tank

Yang ini mungkin adalah salah satu dari proyek Da Vinci yang paling dikenal. Idenya untuk membuat panik dan kehancuran pada pasukan musuh dituangkannya dalam kendaraan perang mirip kura-kura ini. Dalam sebuah proposal kerja untuk Duke of Milan, Da Vinci membual “Aku bisa bikin kendaraan perang, aman, dan tidak terkalahkan, yang akan merangsek masuk dekat pada musuh dengan artilerinya dan dibelakangnya dapat mengikutinya tanpa ada perlawanan.” Cikal bakal tank moderen ini bisa bikin shock di medan perang abad 15-an, tapi ternyata desain ini memiliki kesalahan-kesalahan serius. Bahkan dengan beberapa modifikasi dia masih menghadapi berbagai kendala dan akhirnya menghentikan proyeknya.
7. Dinding Pertahanan
Da Vinci mendesain pula metode bertahan yang rumit dan mengagumkan. Saat dinding diserang, pasukan dibalik benteng pertahanan dengan cepat dan mudah mengelak dari musuh dengan satu pergerakan menggunakan sebuah sistem tuas. Saat musuh menggunakan tangga untuk menrobos dinding, tuas-tuas akan dikaitkan untuk menggerakan rel-rel pada dinding dimana tangga disandarkan sehingga musuh akan berjatuhan.
8. Ketapel
Desain dasar dari ketapel sudah digunakan ratusan tahun sebelum Da Vinci menyempurnakannya. Dia membuat beberapa model yang berbeda-beda. Desain utamanya menggunakan per daun ganda untuk menciptakan energi besar untuk melemparkan proyektil-proyektil batu atau material-material yang dibakar hingga jarak yang jauh. Loading dua per daun besar dilakukan menggunakan sebuah engkol tangan pada sisi ketapel.

9. Benteng

Da Vinci mendesain benteng ini dengan ide mengutamakan kesalamatan dalam suatu serangan. Bentuk gabungannya inovatif dan bisa dijadikan bentuk pertahanan yang efektif dari serangan proyektil-proyektil artileri yang mematikan.
Benteng Da Vinci banyak dianggap sangat moderen dengan desain menara-menara bundar dan dinding eksterior yang sedikit miring untuk menyerap serangan-serangan bersenjata. Bagian paling pentingnya terletak di tengah, yang menurut gambar aslinya juga terdapat lorong-lorong bawah tanah rahasia. Sebagai tambahan, benteng ini juga dilengkapi dua lapis dinding konsentris, puncak di sekelilingnya, dengan maksud mengurangi impact tembakan cannon.

10. Cannon yang Mudah Dipindahkan

Cannon adalah senjata yang sangat berat dan kereta untuk mengangkutnyapun sering macet. Da Vinci mendesain suatu struktur yang dengan mudah bisa dipereteli dan dipindahkan untuk kemudian dirakit kembali.
11. Springald
Springald, suatu alat yang melemparkan batu-batu atau kayu besar seperti sebuah panah dengan swing arms di dalamnya. Contoh dari springalds digambar oleh Da Vinci dalam satu waktu saat dia juga menggambar senjata-senjata powder-propelled. Meski beberapa contoh hasil rekonstruksi bisa dijumpai, tidak ada bukti arkeologisnya yang ditemukan. Sangat mungkin karena material dari senjata ini didaur ulang saat tidak digunakan lagi.

12. Helikopter Da Vinci

Leonardo Da Vinci dikenal sebagai penggagas pertama mesin yang terbang secara vertikal. Sketsa dari mesin terbang berbaling-baling yang bertahun 1493 ini baru ditemukan pada abad 19. Tediri dari sebuah wahana yang dipasangi baling-baling yang dikendalikan oleh suatu sistem yang belum sempurna benar. Desain ini bagaimanapun juga belum pernah digunakan.
Da Vinci dikatakan sebagai penemu pertama yang secara praktis memperkenalkan mesin terbang heavier-than-air. Dia juga pernah meyakinkan bahwa suat saat nanti jika manusia bisa terbang, itu akan menggunakan prinsip helikopternya. Dua ratus tahun kemudian memang terbukti mesin terbang prediksinya itu berhasil dibuat.

13. Kapal Perang

Gambar kapal perang Da Vinci memperlihatkan sebuah kapal kecil yang di haluannya dipasangi metal dan digunakan menyerang kapal musuh. Juga dilengkapi perisai pelindung yang berputar dan akan terbuka setelah serangan berlalu.
Perisai pelindung melindungi dari kapal musuh dan membantu mendekati musuh. Perisai ini tidak akn dibuka untuk mengeluarkan cannon hingga setelah kapal perang ini meyerang kapal musuh atau berada terlalu dekat kapal musuh dan harus ditaklukkan. Perisai ini dipasang pada suatu sistem kerek (derek) yang bekerja sangat cepat. Sekali merendah ke air, perisai ini juga berfungsi sebagai rem untuk mencegah cannon bergerak. Perisai ditutup manual dengan kerekan.
14. Panah Raksasa
Panah ini demikian besar hingga roda-roda yang berjumlah enam diperlukan untuk menjaga kestabilannya. Panah Da Vinci raksasa ini melepasakan bola-bola berat, bukannya anak panah.
Busurnya dibuat dari kayu-kayu yang lentur yang diikat kawat dan menempel di tempatnya oleh pin-pin yang bisa diputar. Bentangannya mencapai 13 meter dan ditarik oleh meknisme baling-baling yang rumit. Da Vinci memasang kerek untuk mengatur traksi pada bagian belakang panah yang juga merupakan mekanisme baling-baling kedua, didesain untuk mengurangi tenaga yang dibutuhkan untuk mengencangkan panah saat digunakan.
15. Senjata untuk Mengepung
Model dari Da Vinci ini memperlihatkan sebuah mesin yang didesain untuk menyerang benteng-benteng pertahanan. Mesin ini terdiri dari sebuah struktur yang mudah dipindahkan dengan jembatan yang dipersenjatai yang disandarkan pada dinding benteng, sementara pasukan mencoba memasuki kota atau kastil.
Da Vinci juga mendesain sistem klasik untuk digunakan dalam serbuan ke benteng-benteng kota musuh. Tangganya dibuat khusus dibuat dari roda-roda bergigi. Sebuah engkol memutar rodanya ke belakang dan ke depan yang mengangkat dan menurunkan tangganya.










Tags: , ,






Jumat, 23 September 2011

sejarah seni rupa indonesia









PERKEMBANGAN SENI RUPA INDONESIA

A. Sifat – Sifat Umum Seni Rupa Indonesia
1. Bersifat tradisional/statis
Dengan adanya kebudayaan agraris mengarah pada bentuk kesenian yang berpegang pada suatu kaidah yang turun temurun
2. Bersifat Progresif
Dengan adanya kebudayaan maritim. Kesenian Indonesia sering dipengaruhi kebudayaan luar yang kemudian di padukan dan dikembangkan sehingga menjadi milik bangsa Indonesia sendiri
3. Bersifat Kebinekaan
Indonesia terdiri dari beberapa daerah dengan keadaan lingkungan dan alam yang berbeda, sehingga melahirkan bentuk ungkapan seni yang beraneka ragam
4. Bersifat Seni Kerajinan
Dengan kekayaan alam Indonesia yang menghasilkan bermacam – macam bahan untuk membuat kerajinan
5. Bersifat Non Realis
Dengan latar belakang agama asli yang primitif berpengaruh pada ungkapan seni yang selalu bersifat perlambangan / simbolisme


B. Seni Rupa Prasejarah Indonesia
Jaman prasejarah (Prehistory) adalah jaman sebelum ditemukan sumber – sumber atau dokumen – dokumen tertulis mengenai kehidupan manusia. Latar belakang kebudayaannya berasal dari kebudayaan Indonesia yang disebarkan oleh bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda. Agama asli pada waktu itu animisme dan dinamisme yang melahirkan bentuk kesenian sebagai media upacara (bersifat simbolisme)
Jaman prasejarah Indonesia terbagi atas: Jaman Batu dan Jaman Logam

1. Seni Rupa Jaman Batu
Jaman batu terbagi lagi menjadi: jaman batu tua (Palaeolithikum), jaman batu menengah (Mesolithikum), Jaman batu muda (Neolithikum), kemudian berkembang kesenian dari batu di jaman logam disebut jaman megalithikum (Batu Besar)
Peninggalan – peninggalannya yaitu:
a. Seni Bangunan
Manusia phaleolithikum belum meiliki tempat tinggal tetap, mereka hidup mengembara (nomaden) dan berburu atau mengumpulkan makanan (food gathering) tanda – tanda adanya karya seni rupa dimulai dari jaman Mesolithikum. Mereka sudah memiliki tempat tinggal di goa – goa. Seperti goa yang ditemukan di di Sulawesi Selatan dan Irian Jaya. Juga berupa rumah – rumah panggung di tepi pantai, dengan bukti – bukti seperti yang ditemukan di pantai Sumatera Timur berupa bukit – bukit kerang (Klokkenmodinger) sebagai sisa – sisa sampah dapur para nelayan
Kemudian jaman Neolithikum, manusia sudah bisa bercocok tanah dan berternak (food producting) serta bertempat tinggal tinggal di rumah – rumah kayu / bambu
Pada jaman megalithikum banyak menghasilkan bangunan – bangunan dari batu yang berukuran besar untuk keperluan upacara agama, seperti punden, dolmen, sarkofaq, meja batu dll
b. Seni Patung
Seni patung berkembang pada jaman Neolithikum, berupa patung – patung nenek moyang dan patung penolak bala, bergaya non realistis, terbuat dari kayu atau batu. Kemudian jaman megalithikum banyak itemukan patung – patung berukuran besar bergaya statis monumental dan dinamis piktural
c. Seni Lukis
Dari jaman Mesolithikum ditemukan lukisan – lukisan yang dibuat pada dinding gua seperti lukisan goa di Sulawesi Selatan dan Pantai Selatan Irian Jaya. Tujuan lukisan untuk keperluan magis dan ritual, seperti adegang perburuan binatang lambang nenek moyang dan cap jari. Kemudian pada jaman neolithikum dan megalithikum, lukisan diterapkan pada bangunan – bangunan dan benda – benda kerajinan sebagai hiasan ornamentik (motif geometris atau motif perlambang)

2. Seni Rupa Jaman Logam
Jaman logam di Indonesia dikenal sebagai jaman perunggu, Karena banyak ditemukan benda – benda kerajinan dari bahan perunggu seperti ganderang, kapak, bejana, patung dan perhiasan, karya seni tersebut dibuat dengan teknik mengecor (mencetak) yang dikenal dengan 2 teknik mencetak:
1) Bivalve, ialah teknik mengecor yang bisaa di ualng berulang
2) Acire Perdue, ialah teknim mengecor yang hany satu kali pakai (tidak bisa diulang)

C. Seni Rupa Indonesia Hindu
Kebudayaan Hindu berasal dari India yang menyebar di Indonesia sekitar abad pertama Masehi melalui kegiatan perdagangan, agama dan politik. Pusat perkembangannya di Jawa, Bali dan Sumatra yang kemudian bercampur (akulturasi) dengan kebudayaan asli Indonesia (kebudayaan istana dan feodal). Prose akulturasi kebudayan India dan Indonesia berlangsung secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, yaitu dengan proses:
a. Proses peniruan (imitasi)
b. Proses Penyesuaian (adaptasi)
c. Proses Penguasaan (kreasi)

1. Ciri – Ciri Seni rupa Indonesia Hindu
a. Bersifat Peodal, yaitu kesenian berpusat di istana sebagai medi pengabdian Raja (kultus Raja)
b. Bersifat Sakral, yaitu kesenian sebagai media upacara agama
c. Bersifat Konvensional, yaitu kesenian yang bertolak pada suatu pedoman pada sumber hukum agama (Silfasastra)
d. Hasil akulturasi kebudayaan India dengan indonesia

2. Karya Seni Rupa Indonesia Hindu
a. Seni Bangunan:
1) Bangunan Candi
Candi berasala dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu Dewa kematian (Dugra). Karenanya candi selalu dihubungkan dengan mnumen untuk memuliakan Raja yang meninggal contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati, selain itu candi pula berfungsi sebagai:
- Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha, contoh candi Borobudur
- Candi Pintu Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contohnya candi Bajang Ratu
- Candi Balai Kambang / Tirta: didirikan didekat / ditengah kolam, contoh candi Belahan
- Candi Pertapaan: didirikan di lereng – lereng tempat Raja bertapa, contohnya candi Jalatunda
- Candi Vihara: didirikan untuk tempat para pendeta bersemedhi contohnya candi Sari
Struktur bangunan candi terdiri dari 3 bagian
- Kaki candi adalah bagian dasar sekaligus membentuk denahnya (berbentuk segi empat, ujur sangkar atau segi 20)
- Tubuh candi. Terdapat kamar – kamar tempat arca atau patung
- Atap candi: berbentuk limas an, bermahkota stupa, lingga, ratna atau amalaka
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang kelompok. Ada dua system dalam pengelempokan candi, yaitu:
- Sistem Konsentris (hasil pengaruh dari India) yaitu induk candi berada di tengah – tengah anak – anak candi, contohnya kelompok candi lorojongrang dan prambanan
- System membelakangi (hasil kreasi asli Indonesia )yaitu induk candi berada di belakang anak – anak candi, contohnya candi penataran
2) Bangunan pura
Pura adalah bangunan tempat Dewa atau arwah leluhur yang banyak didirikan di Bali. Pura merupakan komplek bangunan yang disusun terdiri dari tiga halaman pengaruh dari candi penataran yaitu:
- Halaman depan terdapat balai pertemuan
- Halaman tengah terdapat balai saji
- Halaman belakang terdapat; meru, padmasana, dan rumah Dewa
Seluruh bangunan dikelilingi dinding keliling dengan pintu gerbangnya ada yang berpintu / bertutup (kori agung) ada yang terbuka ( candi bentar)
- Pura agung, didirikan di komplek istana
- Pura gunung, didirikan di lereng gunung tempat bersemedhi
- Pura subak, didirikan di daerah pesawahan
- Pura laut, didirikan di tepi pantai
3) Bangunan Puri
Puri adalah bangunan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pusat keagamaan. Bangunan – bangunan yang terdapat di komplek puri antara lain: Tempat kepala keluarga (Semanggen), tempat upacara meratakan gigi (Balain Munde) dsb
b. Seni patung Hindu Budha
Patung dalam agama Hindu merupakan hasil perwujudan dari Raja dengan Dewa penitisnya. Orang Hindu percaya adanya Trimurti: Dewa Brahma Wisnu dan Siwa. Untuk membedakan mereka setiap patung diberi atribut keDewaan (laksana/ciri), misalnya patung Brahma laksananya berkepala empat, bertangan empat dan kendaraanhya (wahana) hangsa). Sedangkan pada patung wisnu laksananya adalah para mahkotanya terdapat bulan sabit, dan tengkorak, kendaraannya lembu, (nadi) dsb
Dalam agama Budha bisaa dipatungkan adalah sang Budha, Dhyani Budha, Dhyani Bodhidattwa dan Dewi Tara. Setiap patung Budha memiliki tanda – tanda kesucian, yaitu:
- Rambut ikal dan berjenggot (ashnisha)
- Diantara keningnya terdapat titik (urna)
- Telinganya panjang (lamba-karnapasa)
- Terdapat juga kerutan di leher
- Memakai jubah sanghati
c. Seni hias Hindu Budha
Bentuk bangunan candi sebenarnya hasil tiruan dari gunung Mahameru yang dianggap suci sebagai tempatnya para Dewa
Oleh sebab itu Candi selalu diberi hiasan sesuai dengan suasana alam pegunungan, yaitu dengan motif flora dan fauna serta mahluk azaib. Bentuk hiasan candi dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Hiasan Arsitektural ialah hiasan bersifat 3 dimensional yang membentuk struktur bangunan candi, contohnya:
- Hiasan mahkota pada atap candi
- Hisana menara sudut pada setiap candi
- Hiasan motif kala (Banaspati) pada bagian atas pintu
- Hiasan makara, simbar filaster,dll
1) Hiasan bidang ialah hiasan bersifat dua dimensional yang terdapat pada dinding / bidang candi, contohnya
- Hiasan dengan cerita, candi Hindu ialah Mahabarata dan Ramayana: sedangkan pada candi Budha adalah Jataka, Lalitapistara
- Hiasan flora dan fauna
- Hiasan pola geometris
- Hiasan makhluk khayangan

3. Kronologis Sejarah Seni rupa Hindu Budha
a. Seni rupa Jawa Hindu periode Jawa Tengah, terbagi atas:
1) Jaman Wangsa Sanjaya
Candi – candi hanya didirikan di daerah pegunungan. Seni patungnya merupakan perwujudan antara manusia dengan binatang (lembu atau garuda)
2) Jaman Wangsa Syailendra
Peninggalan candinya : kelompok Candi Prambanan, Kelompok Candi Sewu, Candi Borobudurm, Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Mendut Dan Kelompok Candi Plaosan
Seni patungnya bersifat Budhis, contohnya patung Budha dan Budhisatwa di Candi Borobudur
b. Seni rupa Jawa Hindu periode Jawa Timur, terbagi atas:
1) Jaman Peralihan
Pada seni bangunannya sudah meperlihatkan tanda – tanda gaya seni jawa timur seperti tampak pada Candi Belahan yaitu pada perubahan kaki candi yang bertingkat dan atapnya yang makin tinggi. Kemudian pada seni patungnya dudah tidak lagi memperlihatkan tradisi India, tetapi sudah diterapkan proposisi Indonesia seperti pada patung Airlangga
2) Jaman Singasari
Pada seni bangunannya sudah benar – benar meperlihatkan gaya seni Jawa Timur baik pada struktur candi maupun pada hiasannya, contohnya: candi singosari, candi kidal, dan candi jago. Seni patungnya bergaya Klasisistis yang bertolak dari gaya seni Jawa Tengah, hanya seni patung singosari lebih lebih halus pahatannya dan lebih kaya dengan hiasan contohnya patung Prajnaparamita, Bhairawa dan Ganesha.
3) Jaman Majapahit
Candi – candi Majapahit sebagian besar sudah tidak utuh lagi karena terbuat dari batu bata, perbedaan dengan candi di Jawa Tengah yang terbuat dari batu kali / andhesit peninggalan candinya: kelompok candi Penataran, Candi Bajangratu, candi Surowono, candi Triwulan dll
Kemudian pada seni patungnya sudah tidak lagi memperlihatkan gaya klasik Jawa Tengah, melainkan gaya magis monumental yang lebih menonjolkan tradisi Indonesia seperti tampak pada raut muka, pakaian batik dan perhiasan khas Indonesia. Selain patung dari batu juga dikelan patung realistic dari Terakotta (tanah liat) hasil pengaruh darin Campa dan China, contohnya patung wajah Gajah Mada
c. Seni Rupa Bali Hindu
Di Bali jarang ditemukan candi sebab masyarakatnya tidak mengenal Kultus Raja. Seni bangunan utama di Bali adalah Pura dan Puri. Pura sebagai bangunan suci tetapi di dalamnya tidak terdapat patung perwujudan Dewa karena masyarakat Bali tidak mengenal an-Iconis yaitu tidak mengebal patung sebagai objek pemujaan, adapun patung hanya sebagai hiasan saja

4. Perbedaan Gaya Seni Jawa Tengah Dengan Jawa Timur
a. Perbedaan struktur bangunan candi
- Candi Jateng terbuat dari batu adhesit, sedangkan di Jatim terbuat dari batu bata
- Candi Jateng bentuknya tambun, sedangkan di Jatim bentuknya ramping
- Kaki candi Jateng tidak berundak sedangkan di Jatim berundak
- Atap candi Jateng pendek, sedangkan di Jatim lebih tinggi
- Kumpulan candi di Jateng dengan system konsentris, sedangkan di Jatim dengan system membelakangi
b. Perbedaan pada seni patungnya
- Patung – patung di Jateng hanya sebagai perwujudan Dewa/Raja sedangkan di Jatim ada pula perwujudan manusia bisaa
- Seni patung Jateng bergaya simbolis realistis, sedangkan di Jatim jaman Singasari bergaya klasisitis dan jaman Majapahit bergaya magis monumental
- Prambandala (lingkaran kesaktian) pada patung Jateng terdapat pada bagian belakang kepala, sedangkan di Jatim terdapat di bagian belakang seluruh tubuh menyerupai lidah api
- Pakaian Raja / Dewa pada seni patung Jateng masih dipengaruhi tradisi India, sedangkan di Jatim khas Indonesia seperti pakaian batik, selendang dan ikat kepala
c. Perbedaan hiasan candi
- Hiasan adegan cerita pada candi Jateng bergala realis, sedangkan di Jatim bergaya Wayang (distorsi)
- Adegan cerita pada candi Jateng hanya tentang Mahabarata dan Ramayana, sedangkan di Jatim ada pula adegan cerita asli Indonesia, misalnya cerita Panji
- Motif hias pada candi di Jateng bersifat Hindu dan Budha sedangkan di Jatim ada pula hias asli Indonesia sperti motif penawakan dan gunungan serta perlambangan
- Hiasan pada candi di Jatim lebih padat dan dipusatkan pada seni Cina seperti motif awan dan batu karang

D. Seni Rupa Indonesia Islam
Agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 7 M oleh para pedagang dari India, Persia dan Cina. Mereka menyebarkan ajaran Islam sekligus memperkenalkan kebudayaannya masing – masing, maka timbul akulturasi kebudayaan
Seni rupa Islam juga dikembangkan oleh para empu di istana – istana sebagai media pengabdian kepada para penguasa (Raja/Sultan) kemudian dalam kaitannya dengan penyebaran agama Islam, para walipun berperan dalam mengembangkan seni di masyarakat pedesaan, misalnya da’wah Islam disampaikan dengan media seni wayang

1. Ciri – Ciri Seni Rupa Indonesia Islam
a. Bersifat feodal, yaitu kesenian yang bersifat di istana sebagai media pengabdian kepada Raja / sultan
b. Bersumber dari kesenian pra Islam (seni prasejarah dan seni Hindu Budha)
c. Berperan
2. Karya Seni Rupa Indonesia Islam
a. Seni Bangunan
1. Mesjid
Pengaruh hindu tampak pada bagian atas mesjid yang berbentuk limas bersusun ganjil (seperti atap Balai Pertemuan Hindu Bali), contohnya atap mesjid Agung Demak dan Mesjid Agung Banten
2. Istana
Istana / keraton berfungsi sebagai tempat tinggal Raja, pusat pemerintahan. Pusat kegiatan agama dan budaya. Komplek istana bisaanya didirikan di pusat kota yang dikelilingi oleh dinding keliling dan parit pertahanan.
3. Makam
Arsitektur makam orang muslimin di Indonesia merupakan hasil pengaruh dari tradisi non muslim. Pengaruh seni prasejarah tampak pada bentuk makam seperti punden berundak. Sedangkan pengaruh hindu tampak pada nisannya yang diberi hiasan motif gunungan atau motif kala makara. Adapun pengaruh dari Gujarat India yaitu pada makam yang beratap sungkup
b. Seni Kaligrafi
Seni kaligrafi atau seni khat adalah seni tulisan indah. Dalam kesenian Islam menggunakan bahasa arab. Sebagai bentuk simbolis dari rangkaian ayat – ayat suci Al – Qur’an. Berdasarkan fungsinya seni kaligrafi dibedakan menjadi, yaitu:
1) Kaligrafi terapan berfungsi sebagai dekorasi / hiasan
2) Kaligrafi piktural berfungsi sebagai pembentuk gambar
3) Kaligrafi ekspresi berfungsi sebagai media ungkapan perasaan seperti kaligrafi karya AD. Pireus dan Ahmad Sadeli
c. Seni Hias
Seni hias islam selalu menghindari penggambaran makhluk hidup secara realis, maka untuk penyamarannya dibuatkan stilasinya (digayakan) atau diformasi (disederhanakan) dengan bentuk tumbuh – tumbuhan

E. Seni Rupa Indonesi Modern
Istilah “modern” dalam seni rupa Indonesia yaitu betuk dan perwujudan seni yang terjadi akibat dari pengaruh kaidah seni Barat / Eropa. Dalam perkembangannya sejalan dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan
1. Masa Perintis
Dimulai dari prestasi Raden Saleh Syarif Bustaman (1807 – 1880), seorang seniman Indonesia yang belajar kesenian di eropa dan sekembalinya di Indonesia ia menyebarkan hasil pendidikannya. Kemudian Raden Saleh dikukuhkan sebagai bapak perintis seni lukisan modern
2. Masa seni lukis Indonesia jelita / moek (1920 – 1938)
Ditandai dengan hadirnya sekelompok pelukis barat yaitu Rudolf Bonnet, Walter Spies, Arie Smite, R. Locatelli dan lain – lain. Ada beberapa pelukis Indonesia yang mengikuti kaidah / teknik ini antara lain: Abdulah Sr, Pirngadi, Basuki Abdullah, Wakidi dan Wahid Somantri
3. Masa PERSAGI (1938 – 1942)
PERSAGI (Peraturan Ahli Gambar Indonesia) didirikan tahun 1938 di Jakarta yang diketuai oleh Agus Jaya Suminta dan sekreTarisnya S. Sujoyono, seangkan anggotanya Ramli, Abdul Salam, Otto Jaya S, Tutur, Emira Sunarsa (pelukis wanita pertama Indonesia) PERSAGI bertujuan agar para seniman Indonesia dapat menciptakan karya seni yang kreatif dan berkepribadan Indonesia
4. Masa Pendudukan Jepang (1942 – 1945)
Pada jaman Jepang para seniman Indonesia disediakan wadah pada balai kebudayaan Keimin Bunka Shidoso. Para seniman yang aktif ialah: Agus Jaya, Otto Jaya, Zaini, Kusnadi dll. Kemudian pada tahun 1945 berdiri lembaga kesenian dibawah naungan POETRA (Pusat tenaga Rakyat) oleh empat sekawan: Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mansur
5. Masa Sesudah Kemerdekaan (1945 – 1950)
Pada masa ini seniman banyak teroragisir dalam kelompok – kelompok diantaranya:
Sanggar seni rupa masyarakat di Yogyakarta oleh Affandi, Seniman Indonesia Muda (SIM) di Madiun, oleh S. Sujiono, Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) Djajengasmoro, Himpunan Budaya Surakarta (HBS) dll
6. Masa Pendidikan Seni Rupa Melalui Pendidikan Formal
Pada tahun 1950 di Yogyakarta berdiri ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang sekarang namanya menjadi STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) yang dipelopori oleh RJ. Katamsi, kemudian di Bandung berdiri Perguruan Tinggi Guru Gambar (sekarang menjadi Jurusan Seni Rupa ITB) yang dipelopori oleh Prof. Syafe Sumarja. Selanjutnya LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) disusul dengan jurusan – jurusan di setiap IKIP Negeri bahkan sekarag pada tingat SLTA
7. Masa Seni Rupa Baru Indonesia
Pada tahun 1974 muncul para seniman Muda baik yang berpendidikan formal maupun otodidak, seperti Jim Supangkat, S. Priaka, Harsono, Dede Eri Supria, Munni Ardhi, Nyoman Nuarta, dll

F. Aliran – Aliran Seni Lukis
Aliran seni lukis muncul di eropa pada abd ke 19 yang dipengaruhi oleh pesatya perkembangan di bidang ilmu dan teknologi. Penemuan teori – teori baru itu kemudian dijadikan kaidah seni yang berlaku dalam ikatan kelompok pendukungnya, maka lahirlah suatu aliran atau faham dalam seni:
1. Kalsisisme, cirinya: Objek lukisan seperti dibuat – buat dekoratif, berkesan indah dan elok. Tokohnya: Watteau, Ringaud, Viee Lebrun, Fragnorad dan Marisot Boucher
2. Neoklasisisme, cirinya objek lukisan sekitar lingungan istana dan tokoh agama, bersifat intelektual dan akademis. Semua bentuk dibatasi dengan garis nyata, berkesan tenang dan agung. Pelopornya Louis Davis kemudian dilanjutkan oleh Ingres
3. Romantisme, cirinya: bertemakan tentang cerita yang dahsyat atau kegemilangan sejarah dan peristiwa yang menggugah perasaan, emosional kaya dengan warna dan kontras cahaya, kesan gerak lebih menonjol bahkan melebihi kejadian sebenarnya. Tokohnya: Teodore Gericault, Delaxroix, Cemille Corot, Rouseau. Millet dll
4. Realisme, cirinya: mengungkapkan kejadian yang sebenarnya dengan objek lukisan tentang rakyat jelata, kemiskinan atau kepahitan hidup, penderitaan dan kesibukan – kesibukan, tokohnya Gustave Courbet dan George Hendrik Breitner
5. Naturalisme, cirinya: melukis objek alam / pemandangan secara visual (forografis) tanpa ada penafsiran lain. Pelukisnya; Rudolf Bonnet, Le Mayeur, R. Locatelli dab Albercth Durer
6. Improsionisme, cirinya: melukis kesan alam secara langsung dan cepat berdasarkan kaidah hukum cahaya, garis kontur / blabar dan kaya dengan warna, pelukisnya : Claude Monet, Degas, Pisarro dll
7. Pointilisme, cirinya: melukis dengan teknik bintik – bintik kecil untuk menampilkan efek cahaya dan warna, pelukisnya Seurat
8. Ekspresionisme, cirinya : hasil ungkapan emosi dan perasaan objeknya menyimpang dari bentuk alam, spontanitas dan kecepatan dalam melukis dana menggunakan warna secara murni. Pelopornya ialah Vincent, Van Gogh dan para pengikutnya: Emil Nolde, Karl Scmidt dan Mondesohn
9. Kubisme, ada dua jenis yaitu Kubisme Analitis cirinya objek lukisan menyerupai susunan balok / kubus yang berkesan 3 dimensi, dan kubisme sintesis cirinya objek lukisan menyerupai susunan bidang trasparan yang berkesan 2 dimensi. Pelukisnya Pablo Picasso, George Braque, Jan Gris, dan Fernand Leger
10. Futurisme, cirinya: menampilkan kesan gerak pada objek dengan cara pengulangan bentuk yang berubah - rubah arah. Pelukisnya: G. Balla, Severini, dan Carlo Carra
11. Abstrak, cirinya melukis hasil ungkapan batin yang tidak ada identifikasinya di dunia nyata dengan mempergunakan kesatuan garis, bidang, warna dan unsur seni rupa lainnya. Pelukisnya : Wassily Kadinsky, Piet Mondrin dan Malevich
12. Dadaisme, cirinya: lukisan seperti kekanak – kekanakan, nihilistic, naïf, lucu, menolak hukum seni dan keindahan. Pelopornya Paul Klee
13. Surrealisme, cirinya: objek lukisan tampak aneh dan asing seolah – olah hanya terdapat di alam impian , pelukisnya Salvador dali, Marc Ghagall Joan Miro dll.
14. Pop Art, cirinya: berkesan seolah – olah sindiran, karikatur, humor dan apa adanya dari objek aa saja dapat ditampilkan walaupun tidak lajim dalam karya seni, senimannya Tom Waselman, Cristo dan lain – lain
15. Optical Art, cirinya: termasuk seni non objektif dengan menampilkan bentuk – bentuk geometris atau garis – garis yang diulang secara teratur rapih dan terperinci dengan warna – warna cemerlang pelukisnya: Jackson Pollok, William de Kooning dan Andy Warhol

Kamis, 22 September 2011

SENI RUPA MODERN DAN KONTEMPORER


Penelitian tentang karya seni bukan merupakan suatu hal yang mudah melainkan suatu pekerjaan yang  sangat pelik, dan membutuhkan kecerdasan dari sudut mana kita memandang. Hal ini sangat memberikan pengaruh pada hasil penelitian yang penuh dengan  ketegangan antara sudut pandang ilmiah dan seni.
2.1 Seni Rupa
Seni rupa secara sederhana, didefinisikan sebagai seni yang dapat dilihat atau tampak kasat mata. Dalam bahasa Inggris seni rupa disebut visual art, karena memang seni rupa hanya dapat dirasakan lewat penglihatan. Ini ditegaskan oleh Humar Sahman dalam bukunya “Mengenali Dunia Seni Rupa” sebagai berikut:
…peranan mata sangat menentukan apakah dalam proses mencipta sejak dari pengamatan sampai pada visualisasi, gagasan ataupun dalam proses apresiasi produk visualisasi itu. Orang yang buta warna walaupun sepintas-lintas matanya nampak beres-beres saja, tidak akan mampu menjadi perupa atau apresiator karya seni rupa yang kompeten (Humar Sahman, 1993: 200).
Banyak pendapat mengenai seni rupa selain visual art di antaranya spatial art yang dalam kamus bahasa Inggris berarti mengenai ruang/tempat. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Humar Sahman sebagai berikut:
… disebut spasial art jika yang diaksentuasi adalah ruang (space) seperti bangunan (arsitektur = seni mencipta ruang). Atau apabila karya yang diciptakan menempati ruang, baik dalam arti faktual maupun virtual (Humar Sahman, 1993:200).
Dalam artian terbatas seni rupa dapat diartikan “plastic” jika dalam konteks hanya memanfaatkan teknik membentuk bahan-bahan plastis (lunak) (Herbert Read, 2000: 1). Contoh dari pengertian ini adalah patung, keramik termasuk juga instalasi.
Pendapat Jim Supangkat dalam SanentoY., (2001: ix) mengenai seni rupa dalam pengantar buku ‘Dua Seni Rupa” dapat dijadikan sebagai landasan dalam penelitian ini. Menurutnya seni rupa bila diterjemahan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris maka terdapat dua istilah yang berbeda yaitu visual art dan fine art.
Visual art mengacu pada pengertian seni yang menekankan “rupa”. Istilah ini mempunyai lingkup jauh lebih luas darifine art. Seni rupa ini dapat dikatakan setua kebudayaan umat manusia karena memang ada di semua kebudayaan di segala zaman sejak zaman primitif. Sedangkan fine art mempunyai lingkup yang sangat sempit dan tradisinya terikat pada kebudayaan Barat.
Membongkar persoalan seni rupa sedikit banyak mempersoalkan identifikasi melalui modifikasi pemikiran-pemikiran dengan menangkap gejala seni rupa. Munculnya seni rupa kontemporer mungkin dapat melahirkan persoalan rumit, sebab tidak semua seni yang dibuat pada masa sekarang adalah kontemporer. Hal ini akhirnya menyebabkan kecenderungan yang tidak bisa sepenuhnya dicerna dengan konsep, misalnya seni instalasi atau praktek-praktek seni rupa lainnya yang dianggap ekstrim.
Setiap karya seni hendaknya memberikan manfaat pada masyarakat atau kehidupan umat, karya seni seperti inilah disebut karya seni yang berkualitas artinya masyarakat bisa menikmati dengan kepolosan apresiasi serta pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian akan timbul keseimbangan antara seniman karya seni dengan apresiator. Di lain pihak karya seni tidak harus selalu dapat dimengerti oleh masyarakat, akhirnya melahirkan gejala kurangnya apresiasi, kampungan, ketinggalan zaman dan sebagainya.
Persoalan di atas merupakan permasalahan yang menyelesaikannya menuntut kreativitas. Setiap seniman dalam proses penciptaan karya seni hendaknya memakai pemikiran yang sangat matang. Berkaitan dengan proses penciptaan dalam hal ini Dharsono (2004: 28) membaginya dalam tiga komponen  proses penciptaan karya seni yaitu tema, bentuk dan isi. Ketiga komponen ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
2.1.1        Tema
Tema merupakan rangsang cipta seniman dalam usahanya untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan sehingga dapat memberikan konsumsi batin manusia secara utuh dan perasaan keindahan. Kita dapat menangkap harmoni bentuk yang disajikan serta mampu merasakan lewat sensitivitasnya. Dalam sebuah karya seni hampir dapat dipastikan adanya temayaitu inti atau pokok persoalan yang dihasilkan sebagai akibat adanya pengolahan objek (baik objek alam atau objek imajinasi), yang terjadi dalam ide seorang seniman dengan pengalaman pribadinya. Ada kalanya seorang seniman mengambil “alam” sebagai objek karyanya, tetapi karena adanya pengolahan dalam diri seniman tersebut maka tidaklah mengherankan apabila bentuk (wujud) terakhir dari karya ciptannya akan berbeda dengan objek semula.
… problem yang sangat penting  dalam mencipta sebuah karya seni bukanlah apa yang digunakan sebagai objek tetapi “bagaimana” sang seniman mengolah objek tersebut menjadi karya seni yang punya nafsu dan citra pribadi sehingga dalam pengertian tema, tidaklah dapat diterangkan begitu saja tanpa seseorang terlibat di dalamnya (dalam proses-proses penciptaan). Tema merupakan bentuk dalam ide sang seniman, artinya bentuk yang belum dituangkan dalam media atau belum lahir sebagai bentuk fisik. Maka dapat dikatakan pula bahwa seni adalah pengejawantahan dari dunia ide sang seniman (Dharsono, 2004: 30).
2.1.2 Bentuk
Pada dasarnya apa yang dimaksud dengan bentuk adalah totalitas dari pada karya seni. Bentuk itu merupakan organisasi atau suatu kesatuan atau komposisi dari unsur pendukung karya. Ini dijelaskan lebih lanjut oleh Dharsono bahwa ada dua macam bentuk yang pertama adalah bentuk visual yaitu bentuk fisik dari sebuah karya seni atau kesatuan dari unsur-unsur pendukung karya seni tersebut. Selanjutnya adalah bentuk khusus yaitu bentuk yang tercipta karena adanya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang dipancarkan oleh fenomena bentuk fisik terhadap tanggapan kesadaran emosional.
2.1.3 Isi
Isi adalah bentuk psikis dari karya yang dihasilkan seorang seniman. Perbedaan bentuk dan isi hanya terletak pada diri seniman. Bentuk hanya cukup dihayati secara inderawi tetapi isi atau arti dihayati dengan mata batin seorang seniman secara kontemplasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa isi disamakan dengan tema seseorang seniman.
2.2 Fungsi Seni Rupa
Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak bisa disangkal bahwa manusia tidak bisa lepas dari seni, karena seni merupakan bagian dari kehidupan manusia dari sejak zaman prasejarah hingga sekarang artinya seni adalah kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan lain.
Karya seni secara teoritis mempunyai tiga macam fungsi yaitu: fungsi personal, fungsi sosial dan fungsi fisik. Seni memang tidak lepas dari fungsi, di mana kehidupan manusia tidak bisa lepas dari seni, ini menandakan bahwa kita adalah makhluk sosial yang sekaligus sebagai makhluk individu.  Selain sebagai keindahan, religius atau benda pakai seni mempunyai fungsi yang sangat mendalam (Dharsono, 2004: 31).
Setiap manusia pasti membutuhkan tata cara (norma) hidup. Dari tata cara hidup itulah manusia akhirnya melahirkan kebudayaan dan dari kebudayaan itu lahirlah seni. Sebagai instrumen ekspresi personal, seni semata-mata tidak dibatasi untuk dirinya sendiri. Maksudnya seni tidak secara eksklusif dikerjakan berdasarkan emosi pribadi namun bertolak pada pandangan personal menuju persoalan-persoalan umum di mana seniman itu hidup, kemudian diterjemahkannya lewat  lambang dan simbol. Ciri-ciri kemanusiaan seperti kelahiran, cinta dan kematian yang punya dasar instrumen secara umum diangkat sebagai tema seni, tetapi pengolahan terhadap wujud karya tidak bisa lepas dari adanya keunikan seniman dalam menangkap atau membentuk idenya.
2.3 Seni Rupa Modern
Eropa dan Amerika adalah pelopor lahirnya seni modern. Hal ini ditegaskan oleh Rosenberf, dalam Dharsono (2004:222) bahwa:
Pengertian “modern” dalam terminologi seni rupa tidak bisa dilepaskan dari prinsip modernisme atau paham yang mendasari perkembangan seni rupa modern dunia sampai pertengahan abad ke-20. Seni rupa modern dunia memiliki nilai-nilai yang bersifat universal. Dari penafsiran seorang pelukis Jerman yang pindah ke Amerika Serikat sesudah Perang Dunia ke II, Hans Hofmann menyatakan hanya seniman dan gerakan di Eropa dan Amerika yang mampu melahirkan seni rupa modern, konsepsi poros Paris-New-York sebagai pusat perkembangan seni rupa modern.
Seni modern lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik yang kini sedang terancam oleh metode permasalahan seni. Modernisme meyakini gagasan progres karena selalu mementingkan norma kebaruan, keaslian dan kreativitas. Prinsip tersebut melahirkan apa yang kita sebut dengan “Tradition of the new” atau tradisi “Avant-garde”, pola lahirnya gaya seni baru  pada awalnya ditolak, namun akhirnya diterima masyarakat sebagai inovasi terbaru.
Seni modern dengan melahirkan Conceptual Art/ Seni Konseptual merupakan gerakan dalam  menempatkan ide, gagasan atau konsep sebagai masalah yang utama dalam seni. Sedangkan bentuk, material dan objek seninya hanyalah merupakan akibat/efek samping dari konsep seniman.
Walapun kita sering menggunakan istilah seni rupa modern prinsip modernisme tak pernah sungguh-sungguh berakar. Polemik kebudayan di tahun 30-an sangat mempengaruhi pemikiran perkembangan seni rupa Indonesia. Hal ini dipertegas oleh Jim Supangkat 1992 sebagai berikut:
Persentuhan seni rupa Indonesia dengan seni rupa modern sebenarnya hanya terbatas pada corak, gaya, dan prinsip estetik tertentu. Nasionalisme sebagai sikap dasar persepsi untuk menyusun sejarah perkembangan sejarah seni rupa Indonesia adalah kenyataan yang tak bisa disangkal dan nasionalisme sangat mewarnai pemikiran kesenian dihampir semua negara berkembang. Batas kenegaraan itulah yang mengacu pada nasionalisme yang akhirnya diakui dalam seni rupa kontemporer yang percaya pada pluralisme sejak zaman PERSAGI tidak pernah ragu menggariskan perkembangan seni rupa Indonesia khas Indonesia (Jim Supangkat dalam Dharsono, 2004: 224).
Kendati seni rupa modern percaya pada eksplorasi dan kebebasan secara implisit akhirnya hanyalah mempertahankan prinsip-prinsip seni rupa Barat (tradisi Barat). Prinsip-prinsip modernisasi juga menetapkan  tahap perkembangan yang didasarkan pada perkembangan seni rupa  modern Eropa Barat dan Amerika (lihat sejarah). Di Indonesia prinsip-prinsip seperti itu tidak seluruhnya teradaptasi, akan tetapi muncul secara terpotong-potong kadang dalam bentuk yang lebih ekstrim.
Catatan perkembangan pelukis Belanda yang diabaikan adalah catatan yang justru secara mendasar memperlihatkan tanda-tanda perkembangan seni rupa modern.  Kendati tidak terlalu nyata pergeseran yang terjadi pada tahun 1940-an ini menandakan seniman mulai mempersoalkan bahasa rupa dan cenderung meninggalkan representasi (menampilkan realitas sebagai fenomena rupa). Pada tahun 50-an kecenderungan mempersoalkan bahasa rupa itu menegaskan pada karya pelukis Ries Mulder yang waktu itu tinggal di Bandung. Ketika Ries Mulder merintis pendidikan seni rupa di Bandung (ITB), perkembangan seni rupa di alur ini memasuki era penjelajahan masalah bentuk rupa yang secara sadar meninggalkan representasi. Ries Mulder memperkenalkan konsep-konsep seni lukis kubisme yang kemudian sangat berpengaruh di kalangan pelukis pribumi yang belajar padanya. Di tempat lain, ruang seni rupa di Jogjakarta pada saat itu dipenuhi dengan karya-karya realistis. Dari kenyataan inilah maka lahir kubu Bandung yang disebut sebagai laboratorium Barat. Hal ini dipertegas oleh A.D. Pirous bahwa:
…perguruan tinggi dibentuk dengan gaya, konsep dan teori kesenian Barat modern diajarkan pada mahasiswa, proses itu berjalan sedemikian sehingga pada tahun 50 dan 60-an , karya-karya mahasiswa seni rupa Bandung pernah dicap sebagai hasil laboratorium Barat (A.D. Pirous, 2003:56)
Akibat dari perkembangan ini, kemudian menjadi kontradiksi kubu Bandung-Jogja yang  memperlihatkan pertentangan dua tradisi besar seni rupa modern, yaitu kontradiksi tradisi realis dan modernis.
2.4 Seni Rupa Kontemporer
Antara modern dan kontemporer secara umum tidak dapat dipilah berdasarkan waktu, hal ini mengakibatkan tidak jelasnya pemisah antara kedua istilah tersebut. Instilah modern dan kontemporer dalam konteks seni rupa dijelaskan oleh Kramer dalam Dharsono sebagai berikut:
Pengertian “kontemporer” dibandingkan dengan istilah modern hanya sekedar sebagai sekat munculnya perkembangan seni rupa sekitar tahun 70-an dengan menempatkan seniman-seniman Amerika seperti David Smith dan Jackson Pollock sebagai tanda peralihan (Dharsono, 2004: 223).
Pengertian kontemporer dalam bidang arsitektur memiliki pengertian lain, hal ini diungkapkan oleh Kultermann seorang pemikir asal Jerman, “berdasarkan teori Udo pengertian kontemporer dekat dengan paham post-modern… menjelang 1970. Paham baru ini menentang kerasionalan paham modern yang dingin dan berpihak  pada simbolisme instink” (Dharsono, 2004: 223). Dalam istilah seni pengertian ini ditafsirkan lebih lajut oleh Douglas Davis kontemporer sebagai kembalinya upaya mencari dan mengangkat nilai-nilai budaya dan kemasyarakatan atau dalam istilah seni kembali ke konteks.
Seperti telah kita ketahui, seni kontemporer dalam bahasa Indonesia padanannya adalah “seni masa kini” atau juga “seni mutakhir”. Dalam khazanah seni modern yang telah berusia ratusan tahun, kehadiran seni kontemporer cukup rumit dan menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan.
Istilah seni kontemporer pada hemat saya justru banyak menimbulkan kebingungan. Istilah seni kontemporer dalam arti seni masa kini sepanjang yang telah saya selusuri, sudah muncul sejak tahun 50-an. Pada waktu itu, karya seni masa kini hanya menyangkut nama-nama Picasso, Matisse, Braque dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu persatu apakah tidak mengherankan jika pada tahun 1996 kita harapkan kepada bentuk seni yang sama sekali berbeda dengan tokoh-tokoh yang berbeda pula, namanya masih tetap sama yaitu seni kontemporer apa sebenarnya yang mempertautkan seni kontemporer tahun 50-an yang diwakili Picasso dan kawan-kawannya dengan seni kontemporer di tahun 1996 yang diwakili Pop artHappening art dan seni instalasi, dan sebagainya saya rasa, inilah yang membingungkan dengan memakai istilah seni kontemporer karena setiap ungkapan seni 10, 20, 50, seratus tahun yang lalu atau yang akan datang, pada zamannya yang bersangkutan tetap merupakan seni kontemporer. Seperti juga waktu yang akan datang dan pergi, juga ungkapan seni dari waktu ke waktu yang akan dan pergi masing-masing mempunyai  bentuk, sifat dan kecenderungan  masing-masing yang saling berbeda satu sama lain,  bahkan sering tidak ada kaitan dan kebersamaan titik tolaknya. Periode berikutnya adalah pendobrakan yang lengkap terhadap asas-asas seni rupa tradisi Barat. Bahkan, akhirnya pendobrakan ini semakin beraneka ragam. Dipengaruhi oleh semangat individualisme dengan jumlah pelukis yang semakin banyak maka seni kontemporer ini semakin dipadati oleh seni individual di mana setiap seniman berusaha untuk saling berbeda satu sama lain (Popo Iskandar, 2000:30).
Ditinjau dari sudut ini seni kontemporer bukanlah konsep tetap. Seni kontemporer adalah dimensi waktu yang terus bergulir  mengikuti perkembangan masyarakat dengan zamannya.
Kiranya hanya satu indikasi yang bisa dijadikan titik terang istilah seni kontemporer, yakni lahir dan berkembang dalam khazanah dan ruang lingkup seni modern. Hal ini di pertegas dalam buku AWAS! Recent art from Indonesia: Seni rupa kontemporer muncul setelah seni rupa modern.
…”berlangsungnya perayaan ‘Boom seni lukis’ di akhir tahun 80-an dan awal akhir 90-an…seniman bergerak cepat menembus, melintas batas-batas tradisional negara yang membatasi identitasnya. Kelangsungan seni rupa kontemporer…tidak lagi mengusung semangat hebat, pemberontakan dan penyangkalan seperti pendahulunya di tahun 70-an (seni modern) tetapi melangsungkan negosiasi  dengan berbagai senimanan baru, perubahan-perubahan yang serba cepat, peluang dan tentunya juga gemerlapnya pasar (Rizki A Zaelani, 1999:92).
Untuk melengkapi batasan antara modern dan kontemporer dalam seni rupa, penulis (Senin, 17 Januari 2005) berhasil menghubungi Setiawan Sabana (pendidik, perupa, dekan FSRD ITB). Ia mengungkapkan, sesuai dengan hasil penelitiannya mengenai “Seni Rupa Kontemporer Asia Tenggara” yang dilakukannya selama 4 tahun, bahwa yang membedakan antara seni rupa modern dan kontemporer sebagai berikut:
1. Seni rupa modern
-        memutuskan rantai dengan tradisi masa lalu, pada masa ini tradisi tidak menjadi perhatian yang signifikan dan itu dianggap sebagai seseuatu yang tidak perlu diotak-atik lagi tapi cukup dalam musium saja,
-        adanya high art dan low art ( kesenian dianggap adiluhung),
-        tema-tema sosial cenderung ditolak, dan
-        kurang memperhatikan budaya lokal.
2. Seni rupa kontemporer
-        tradisi dicoba untuk diangkat kembali misalnya tema lebih bebas dan media lebih bebas,
-        tema-tema sosial dan politik menjadi hal yang lumrah dalam tema berkarya seni,
-        baurnya karya seni adiluhung/high art dan low art,
-        masa seni rupa modern kesenian itu abadi maka masa kontemporer kesenian dianggap kesementaraan,
-        dulu ada istilah menara gading sekarang kesenian merakyat, jadi tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu/harus bertahan, dan
-        budaya lokal mulai bahkan menjadi perhatian.
Selanjutnya ia menyimpulkannya bahwa fenomena seni rupa kontemporer Indonesia merupakan suatu refleksi, pencerminan evaluasi kembali, sikap evaluatif dan pencarian akan potensi-potensi kultural yang baru di negeri ini  dan  merupakan bentuk kesadaran baru dalam era global.
2.5 Seni Rupa Indonesia
Kolonialisme Eropa terutama yang dilakukan oleh dua negara yakni Spanyol dan Portugis, telah memberikan dampak besar pada perkembangan budaya Timur (Indonesia). Portugis adalah negara Eropa pertama yang melakukan perjalanan mengarungi samudera sebelah selatan menuju Afrika, melewati selatan dari Timur Asia pada abad ke-15. Kemudian pada akhir abad ke-16 Inggris dan Belanda menyaingi monopoli Portugis dalam perdagangan di daerah Timur. Belanda kemudian menjajah Hindia Belanda sebagai negara koloni penghasil teh, kapas, emas dan sumber daya alam lainnya terutama Indonesia hingga jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang tahun 1942. Tentu hal ini sangat berpengaruh pada semua tatanan yang ada di Indonesia baik segi politik maupun kebudayaan yang imbasnya sampai pada perjalanan seni rupa.
…Perjalanan seni lukis kita sejak perintisan  R. Saleh sampai awal abad 21,  terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan  konsepsi. Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran berhasil itu,  sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme  yang membuahkan seni alternatif  dengan munculnya seni konsep (conceptual art) seni instalasi, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif  semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997….  (Dharsono, 2004: 194).
Sejarah  mencatat, perkembangan seni rupa Indonesia pada tiap zamannya banyak dipengaruhi oleh kolonialisme terutama pada perkembangan seni rupa modern Indonesia yang selalu terkait dengan perubahan sosial dan juga memuat konteks-konteks sosial, ekonomi maupun kebudayaan. Hal ini terbukti dengan munculnya seorang seniman pertama kaum pribumi (terjajah) bernama R. Saleh Syarif Bustaman (1807-1880) yang dinyatakan sebagai perintis, karena telah menanamkan tonggak pertama perjalanan seni lukis Indonesia (Sudarmaji dalam Dharsono, 2004:140). Dengan mendapatkan pendidikan gambar dari pelukis Belgia, R. Saleh dikirim ke negeri Belanda untuk belajar melukis dengan dibiayai pemerintah Belanda pada tahun 1829, dari hasil pendidikan tersebut R. Saleh melahirkan dua karyanya yang sangat terkenal sampai saat ini yaitu “Antara Hidup dan Mati” dan “Hutan Terbakar” serta beberapa potret keluarga raja-raja Jawa dan pejabat pemerintahan Belanda.
Gambar 1. Lukisan Raden Saleh “Berburu Banteng”
(Dharsono,2004:142)
Kasus lain yang hampir serupa terjadi setelah meninggalnya R. Saleh (1880). Munculnya tokoh pelukis yang mengenyam pendidikan dari Belanda yaitu Abdullah Suryosubroto (1900-an). Ia pada awalnya dikirim ke negeri Belanda oleh Wahidin Sudirohusodo untuk menuntut ilmu kedokteran namun tanpa sepengetahuan ayahnya ia malah belajar pada akademi seni rupa. Ia kemudian pulang ke Indonesia menjadi pelukis besar dan menetap di Bandung.  Sejak wafatnya R. Saleh (1880) sampai pada munculnya Abdulah Suryosubroto (1900-an) konteks dunia seni rupa Indonesia seperti mengalami “rantai terputus”.
Mooi Indie” (seni lukis pemandangan) merupakan masa awal perkembangan seni rupa Indonesia setelah wafatnya R. Saleh. Tumbuhnya Mooi Indie merupakan pengaruh pengusaha dan para pedagang masa kolonialisme tahun 1930-1938. Melihat keadaan alam di Indonesia yang indah dan permai menyebabkan para pengusaha pada waktu itu sangat menyukai objek-objek keindahan alam, sehingga lahir pelukis-pelukis pemandangan, diantaranya Abdullah Suryosubroto, Pringadi dan Wakidi. Hal ini ditegaskan oleh Sanento Yuliman sebagai berikut:
…pada awal abad dua puluh terbentuklah konsumen lukisan pemandangan  alam di Indonesia, yaitu saudagar, pengusaha, pegawai Belanda dan para wisatawan…semua menginginkan kenang-kenangan alam Indonesia…karena kebanyakan pelukis pada masa itu memang senang melukis pemandangan alam. Kesenangan itu…beserta hasil penjualan…bagi pelukis merupakan imbalan yang cukup…Pelukis Abdullah Suryosubroto, Pringadi dan Wakidi meluangkan banyak waktu…pergi ke tempat sepi di lereng gunung Tangkuban Parahu, kaki Merapi, pantai Pelabuhan Ratu dan di Ngarai Sianok merenungi pemandangan alam dan dengan tekun melukisnya (Sanento Yuliman, 2001:80).
Mooi Indie memiliki karakter dan teknik pewarnaan yang berbeda dengan masa R. Saleh.   Pewarnaan karya senimanMooi Indie lebih menyala baik pada objek alam, binatang maupun manusia. Tokoh-tokoh masa Mooi Indie selain Abdullah Suryosubroto, Wakidi dan Pringadi yaitu Basuki Abdullah dan pelukis lainnya. Mereka melukis pemandangan dengan teknik yang biasa dilakukan dan diajarkan di akademi seni rupa negeri Belanda berdasarkan ketentuan lazim, yaitu  memperhitungkan perspektif/ruang dan teknik pewarnaan yang ditonjolkan.
Gambar 2. Lukisan Abdulah Suryosubroto “Hamparan Sawah”
(Dharsono, 2004)
Dengan aturan-aturan seperti di atas Sudjojono (salah satu murid Pringadi) merasa tidak punya kebebasan, sebab menurutnya melukis harus terbebas dari kaidah-kaidah agar gejolak jiwa bisa tercurahkan sebebas-bebasnya. …lukisan tidak diukur dari kecepatan dalam melukiskan objek tetapi bagaimana menuangkan intensitas kegemasan garis-garis yang disapukan pada kanvas, ujar Sudjojono (Sanento Yuliman, 2001:82). Sudjojono tetap konsisten pada keyakinannya hingga tahun 1937 ia berhasil mengikuti pameran bersama orang-orang Eropa. Pada tahun 1938 ia menjadi tokoh dan penggerak Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang diketuai oleh Agus Djaya. Perkumpulan ini dirintis sebagai kesatuan pelukis-pelukis untuk melahirkan lukisan corak Indonesia dengan konsep “melukis tidak semata-mata berbekal keterampilan teknis, tetapi memerlukan pandangan hidup dan visi seni yang luas dan mendalam”. Namun akhirnya PERSAGI bubar ketika kekuasaan Belanda jatuh ke tangan Jepang Pada bulan Maret 1942.
Jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan Jepang bukan hanya suatu kemenangan militer saja, tetapi bangsa Indonesia lebih melihat peristiwa ini sebagai kemenangan kepercayaan akan harga diri bangsa Asia terhadap bangsa Barat. Ini dipaparkan oleh A.D. Pirous bahwa:
Kedatangan Jepang ke Indonesia pada waktu itu dirasakan sebagai “saudara tua” yang melepaskan kekuasaan penjajahan Belanda yang diterima dengan semangat persaudaraan yang erat. Jepang yang juga unggul dalam kebudayaan, diharapkan dapat membantu mengembangkan kebudayaan Indonesia, harapan ini jadi lebih diyakini, ketika pemerintah Jepang menampakan perhatiannya yang besar terhadap persoalan-persoalan kebudayaan (AD. Pirous 2003:3).
Pada masa pendudukan Jepang seni rupa Indonesia mendapatkan perhatian yaitu dengan disediakannya alat-alat dan tempat untuk melukis sehingga terselenggara pameran lukisan pertama pada bulan September 1942. Tapi sayangnya karya-karya yang dibuat hanya sebagai propaganda pemerintahan Jepang yaitu dengan bertemakan kehebatan pemerintahan Jepang.
Gambar 3. Foto Perupa Jepang Saseo Ono
(A.D. Pirous, 2003:1)
Gambar 4. Sketsa Saseo Ono menggambarkan situasi Jalan Braga, Bandung
(A.D. Pirous, 2003:2)
Gambar 5. Sketsa Saseo Ono menggambarkan semangat awal kemerdekaan
(A.D. Pirous, 2003: 9)
Puncak campur tangan pemerintahan Jepang dapat dicatat pada bulan April tahun 1943 atau setahun setelah masa pendudukan. Jepang membentuk suatu badan kebudayaan yang diberi nama “Keimin Bunka Sidosho” dengan kontrol di bawah seniman Jepang yaitu Saseo Ono, di dalamnya tetap terdapat propaganda pemerintahan Jepang. Akan tetapi oleh para seniman lokal “Keimin Bunka Sidosho” dimanfaatkannya sebagai kesempatan untuk berlatih secara teratur dengan literatur dan peralatan yang ada, mereka mengadakan ceramah/diskusi tentang seni rupa dengan sedikitnya memberikan pandangan-pandangan baru tentang perkembangan kesenian (seni rupa) Indonesia. Di pihak lain Indonesia mendirikan “Poetra” yang dalam bagian seni rupanya dipimpin oleh S. Sujoyono dan Affandi.
Selain mengabdi pada bidang seni, seniman-seniman lokal berjuang melawan pemerintahan Jepang lewat lukisan dan poster, dengan jiwa nasionalisme pada saat itu sebagai contoh lukisan Affandi menyindir pekerja romusha dengan badan kurus dan pakaian compang-camping, demikian juga poster dengan model pelukis Dullah, teks oleh Khairil Anwar “Boeng Ajo Boeng” direproduksi dan disebar lewat gerbong-gerbong kereta api.
Uraian singkat di atas tidak menggambarkan secara detail tentang sejarah, penulis hanya menulis apa yang dianggap penting. Namun yang terpenting kita telah mendapatkan benang merah sebagai bukti kuat tentang pengaruh Barat terhadap perkembangan seni rupa modern Indonesia. Hal tersebut mengingat apa yang diungkapkan oleh  Prof. Huizinga seorang ilmuwan sejarah yang dikutip kembali oleh Moh. Hatta;”…Bahwa sejarah bukanlah menuliskan selengkap-lengkapnya fakta yang terjadi pada masa lampau yang tidak mungkin ditulis lengkap oleh manusia, sejarah memberi bentuk kepada masa yang lalu supaya roman masa lalu itu jelas tergambar di muka kita” (Khalid Zabidi 2003:22).
Gambar 6. Karya Jim Supangkat
(GSRB, 1979: 48)
Pertama kali yang harus dipahami dari sejak awal adalah perkembangan seni rupa modern Indonesia merupakan proyek kebudayaan Barat yang dibawa melalui Kolonialisme Eropa (Belanda). Perkembangan (seni rupa modern) berbeda dengan seni rupa yang telah hidup lama (seni rupa lokal) di Indonesia. Jim Supangkat menandai ini dengan  pernyataannya: “Indonesia Modern art grew out of western culture, it was not a continuity and development of traditional arts, which have a different frame of reference” (Jim Supangkat, dalam Khalid Zabidi 2003:23)
2.6 Perkembangan Seni Rupa  Bandung
Melihat sangat luasnya ruang lingkup seni rupa maka penulis dalam hal ini hanya akan membeberkan perkembangan seni murni saja karena mengingat seni murni dianggap sebagai pencetus awal modernisasi seni rupa Indonesia.
Perkembangan seni rupa Bandung ditandai dengan munculnya kelompok seni rupa Hindia Molek atau “Mooi Indie”  kelompok ini banyak menggambarkan lukisan-lukisan yang bertemakan pemandangan alam yang indah dan objek manusia. Ini dipertegas oleh Sudarmaji bahwa:
Masa ‘Hindia Jelita’, atau masa ‘Hindia Indah’, atau ‘Mooi Indie’, apapun namanya, masa itu merupakan masa yang menonjolkan sesuatu sifat yang diakibatkan sebagai suatu cara melihat dan memandang dunia sekelilingnya  dari aspek visualnya. Para seniman  pada masa ini memandang gejala sekelilingnya dari sudutnya yang molek, yang cantik, indah, permai dalam memuja alam Indonesia, terutama gunungnya, laut, sawah, bunga-bunga, manusia terutama gadis-gadis Indonesia yang cantik (Dharsono, 2004:143).
Kelompok ini muncul tentu tidak lepas dari pengaruh pelukis Barat (penjajah) yang melukis bertaraf hanya sebagai hobi atau kesenangan belaka. Hindia Molek atau “Mooi Indie” adalah sebuah perkembangan seni rupa sebelum lahirnya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia). Semenjak dari masa itu perkembangan seni rupa atau bahkan kebudayaan di Indonesia merupakan perkembangan yang terlepas dari seni rupa prasejarah bahkan hal ini merupakan pembuka babak baru seni rupa modern Indonesia. Sekitar tahun 1908-1937 pelukis-pelukis “Mooi Indie” banyak memilih tempat untuk menetap di Bandung ini disebabkan karena alam keindahan Bandung merupakan objek yang sangat mendukung  dalam berkarya rupa pada saat itu, misalnya Abdullah Suryosubroto ia memilih Bandung yang akhirnya ia menetap di sana dengan alasan karena banyak orang asing bermukim yang merupakan konsumen utama seni lukis baru. Namun yang lebih penting bahwa Bandung merupakan letak yang strategis  karena berada di tengah-tengah alam raya yang indah dengan dikelilingi gunung-gunung  yang merupakan sorga bagi seorang pelukis “Mooi Indie”.
”…Rentang pandang kebiruan kaki langit dengan puncak gunung diselimuti awan tipis, mainan cahaya disela-sela bambu dan hutan belantara serta keelokan jalan atau sungai yang mengalir jernih menawan, melingkar di antara semak-semak dan pepohonan berlumut yang dipadu dengan hamparan sawah yang belum ditanamai. Bentang alam pegunungan yang tampak menghijau laksana lautan hijau mengepung gunung, di bawah sinar matahari pagi dengan senyum awan tipis lukisan Abdullah Suryosubroto mampu membawakan rasa keharuan dan perasaan tentram, yang telah hilang ditelan hiruk keramaian kota. Tidaklah mengherankan apabila lukisannya banyak diminati  orang-orang asing dan orang-orang Indonesia sendiri (Kusnadi dalam Dharsono, 2004:144).
Seni rupa Bandung merupakan salah satu muatan seni rupa modern dan kontemporer di Indonesia. Kalau kita lihat ke belakang hingga munculnya Pelukis Lima Bandung tentulah kita akan dapat menyimpulkan bahwa Bandung merupakan motor pergerakan seni rupa Indonesia dari pra-kemerdekaan, pasca kemerdekaan hingga sekarang. Seniman lainnya yang seangkatan dengan Abdullah Suryosubroto sebagai pengisi masa “Mooi Indie” yaitu Sukardji dan Kendar Kerton yang kemudian disusul oleh kelompok Lima Bandung yang aktif pada tahun 1935-1940 yaitu Affandi, Barli, Wahdi, Sudarso dan Hendra. Mereka semua merupakan seniman yang hidup dan berjaya di masa Kolonial hingga sekarang. Dengan pendidikan dari Belanda para pelukis Bandung masa lalu telah bisa membaca literatur Barat  antara lain gambar reproduksi  karya seniman Barat yang terkenal pada waktu itu.
2.6.1        Masa Pendidikan Tinggi Tahun 1947-1960-an
Lahirnya lembaga pendidikan seni rupa secara formal maupun nonformal sangatlah berarti bagi perkembangan seni rupa di Bandung, dengan berawal dari berdirinya sanggar-sanggar sebagai transformasi teknis, pengalaman, wawasan di antara para peserta didik. Baru sekitar tahun 1947 pendidikan tinggi seni rupa formal berdiri, pendirian ini berdasarkan pada  pemikiran seorang guru SMU bernama  Simon Admiral dan Ries Mulder, seorang seniman kebangsaan Belanda, dengan alasan bahwa bangsa Indonesia sudah tidak adil diperlakukan oleh Belanda.
Gambar 7. Lukisan karya Ries Mulder
(Ardiyanto, 1996)
Jika bangsa yang dijajah itu mendapatkan pendidikan dengan metodologi seperti Eropa, Barat, tentulah akan maju. Berangkat dari pemikiran bangsa Indonesia telah memiliki kemampuan tinggi dalam berolah seni dan telah dibuktikan dengan banyaknya karya-karya tradisional dan aktivitas seni lainnya, ini mendorong untuk didirikannya lembaga pendidikan tinggi seni rupa. Maka pada tanggal 1 Agustus 1947 didirikan “Universitaire Leergang Voor de Opleiding Tekenlaren” yang kemudian diubah ke dalam bahasa Indonesia dengan nama “Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar” yang tergabung dalam  Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik, Universitas Indonesia di Bandung (kini FSRD- ITB) dengan dosen berkebangsaan Belanda  dan salah satunya dari kaum pribumi bernama Sjafei Soemardja dengan akta mengajar dari Belanda yaitu “Middlebare Akte” dan pada tahun 1956 di lembaga tersebut dibentuk jurusan melukis di samping pendidikan yang mencetak  guru gambar.
Gambar 8. Mahasiswa Seni Rupa ITB Tahun 1956
( A.D. Pirous, 2003: 164)
Kemudian lembaga yang mencetak guru seni rupa selanjutnya dikelola oleh FKIP-UNPAD (sejak 1961) dan kini lembaga pendidikan guru seni rupa  tersebut berada pada Jurusan Pendidikan Seni Rupa dan kerajinan IKIP Bandung yang sekarang menjadi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia)
2.6.2 Seni Rupa Bandung Tahun 1970-1980-an
Masa 70-an, ditandai oleh maraknya pembangunan di sektor ekonomi, hal ini ditandai dengan masuknya penanaman modal asing sehingga memajukan roda industri dan perekonomian. Pertumbuhan perekonomian menimbulkan krisis sosial sehingga mendorong timbulnya berbagai ketimpangan sosial. Hal ini dijelaskan oleh A.D. Pirous sebagai berikut:
Perkembangan ekonomi yang mengalami pertumbuhan, melahirkan berbagai ketimpangan yang mendorong pergolakan sosaial dan politik, seperti misalnya kasus “malari” pada 1974, serta gelombang protes dan demonstrasi mahasiswa (A.D Pirous, 2003:172).
Suasana seperti itu berimplikasi pada  ruang seni rupa, yaitu ditandai dengan lahirnya gaya seni yang mengarah pada nilai-nilai spiritual dengan lahirnya lukisan-lukisan yang bernafaskan ke-Islaman seperti kaligrafi. Hal ini terus berkembang sehingga bermunculan seniman-seniman kaligrafi. Ini ditegaskan dengan jelas oleh A.D. Pirous:
… berbagai pameran yang diikuti banyak seniman dengan beragam gaya, dari kecenderungan gaya ekspresif seperti: Affandi, dan Amri Yahya di Yogya, serta gaya meditatif dari Ahmad Sadali, A.D. Pirous, A. Subarna dari Bandung, hingga gaya surealistis seperti Saiful Adnan dari Yogya yang juga kuat memperkaya ragam bahasa visual seni lukis kaligrafi Islami … (A.D. Pirous, 2003:173)
Tumbuhnya perekonomian di Indonesia Era 80-an mendorong timbulnya kegiatan berkesenian yang  mengakibatkan lahirnya sejumlah kolektor, galeri, art dealer dan lain-lain, kemudian disusul pembangunan perkantoran, hotel, real estate atau perumahan. Sehingga melahirkan kebutuhan barang seni sebagai elemen estetiknya. Ardiyanto (1998:55) menyebutkan …frekuensi penjualan lukisan dan pesanan patung mengalami lonjakan yang fantastis dan dengan sendirinya banyak seniman yang hidupnya berkecukupan, sehingga tidak salah jika G. Shidarta dalam makalah diskusi dalam pameran ASEAN ke-3 di Jakarta mensinyalir bahwa kecenderungan besar di mana seniman (seni) mengabdi kepada kekuatan ekonomi.
Realitas lain para perupa pemberontak pada masa ini mayoritas muncul dari kalangan mahasiswa akademi seni rupa di Bandung, mereka menganggap bahwa lembaga tempat menimba ilmu dinilai kaku, konservatif dan tidak progresif dalam menyikapi perkembangan seni rupa Indonesia. Pendek kata lembaga pendidikan seni rupa tidak dapat mengakomodir berbagai gagasan, motivasi atau keinginan kaum muda ( Ardiyanto, 1998:55).
Karya-karya yang dilahirkan pada masa ini tidak lagi memperhatikan nilai-nilai estetik dan mengejar wilayah artistik baru bahkan keluar dari wilayah dengan kode khusus, mereka menganggap praktek eksplorasi artistik sebagai ciri modernisme tidak dianggap penting. …pencarian esensi ekspresi, eksplorasi media, perkara orisinalitas, pencarian teknik baru tidak dipersoalkan pada karya-karya di era tahun 80-an… (Jim Supangkat dalam Ardiyanto, 2003:56).
Praktek seni rupa yang mempunyai kecenderungan menyimpang ini antara lain seperti karyanya Acep Zam-zam Noor, Irwan Karseno dengan mengangkat isu seks kemudian tokoh lainnya seperti Tisna Sanjaya dan Kristiawan, menyelenggarakan pameran gambar di sepanjang jalan Cikapundung-Bandung.
Gambar 9. Aksi mahasiswa IKIP Bandung tahun 1981
(Ardiyanto, 1998: 62)
Pemilihan ruang publik tidak saja dikarenakan perkara ukuran yang relatif lebih besar namun secara tidak disadari hal ini jadi lebih dekat dengan lahirnya karya seni yang dapat diapresiasi oleh masyarakat khususnya warga kampus ini dilakukan oleh mahasiswa seni rupa IKIP Bandung (sekarang UPI) angkatan 1981 mereka mendobrak bahwa karya itu tidak selalu individual. Peristiwa ini sempat menjadi polemik dan kekalutan pada masyarakat kampus (Ardiyanto, 1998:62).
2.7 Seni Instalasi
Munculnya seni instalasi berasal dari perkembangan salah satu teknik dalam seni rupa (patung) yaitu asemblasi. Asemblasi sendiri berasal dari perkembangan aliran Kubisme (Picasso dan Braque), ditambah dengan semakin gencarnya pengaruh Dadaisme, Surealisme dan Conseptual Art/Seni Konseptual.
Dalam buku Art Speak Robert, A. (1990:90), menyebutkan bahwa seni instalasi dunia pertama kali muncul pada erapop art (1950-1970-an) dengan tokoh-tokohnya: Judy Pfaff dengan karyanya yaitu membuat taman bawah laut dari ribuan berbagai jenis sampah dengan sangat fantastik. Tohoh lainnya Daniel Buren membuat instalasi garis-garis yang diaplikasikan  pada struktur-struktur yang diuraikan dengan  penempatan mereka pada karakter fisikal atau sosial dari tempat itu.
Adapun artian harfiahnya (asal kata install = memasang, installation = pemasangan), jadi seni instalasi merupakan seni yang memasang, menyatukan, memadukan dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Lebih spesifiknya instalasi adalah memasang, merakit, komponen-komponen benda seni maupun benda lain (bentuk di luar konteks seni rupa). Adapun pengertian instalasi yang diungkapkan oleh Setiawan Sabana bahwa, instalasi adalah sebuah perakitan komponen-komponen dalam karya seni yang dulu dipisahkan seperti patung, lukis, grafis dan keramik.
2.8 Sejarah Singkat Seni Instalasi Asia Tenggara
Pada pertengahan tahun 1970-an banyak dilakukan percobaan seni kontemporer yaitu di Thailand, Singapura termasuk Indonesia. Tetapi yang berani melakukan percobaan ini hanya sekelompok kecil seniman.
Pada tahun 1990-an didirikan suatu komunitas instalasi di Asia Tenggara yang diberi nama “Forum Seni Internasional”. Tidak dapat kita pungkiri instalasi ini memang merupakan pengaruh dari Barat. Adanya seni instalasi seolah-olah merupakan zaman renaissance di Asia Tenggara, namun lamakelamaan instalasi dapat diadopsi oleh para seniman Asia Tenggara karena dirasakan cocok dengan konteks sosial budaya Asia Tenggara. Julie Ewington “Art and Asia Pacific(1995:110).
Sejarawan Thailand yang bernama Somporn Rodboon mengatakan bahwa “tidak ada keragu-raguan lagi …pengaruh instalasi datang dari Barat”. Para seniman di Asia Tenggara selalu mengadakan hubungan dengan koleganya (teman bisnis) melalui kegiatan pameran dan konfrensi salah satu kolega mereka adalah Andi Goldsworthy, ia sering berada di Filifina pada pertengahan tahun 1993. Andi Goldsworthy merupakan seorang seniman yang karyanya banyak menggunakan bahan-bahan alami.
Seni instalasi dibangun dengan harapan bisa menafsirkan seni kontemporer yang cocok dengan wilayah Asia Tenggara. Tradisi kebudayaan pribumi Asia Tenggara seperti upacara-upacara ritual keagamaan (tradisi) merupakan sumber daya  bagi perkembangan seni instalasi yang berpengaruh pada karya instalasi di Asia Tenggara.
2.9 Perkembangan Seni Instalasi di Indonesia
Munculnya seni instalasi di Indonesia paling tidak sejak munculnya Gerakan Seni Rupa Baru pada tahun 1975-1979. …bertujuan meruntuhkan definisi seni rupa yang terkungkung oleh seni patung, lukis dan seni grafis, serta anti elitisme, seperti tampak karya-karya mereka… (Ahda Imran,: 2004).
Munculnya keberadaan seni instalasi  pada masa gerakan seni rupa baru Indonesia  ini dijelaskan pula oleh Mikke Sutanto sebagai berikut:
…perkembangan seni instalasi di Indonesia disemai dari pameran seni yang diadakan oleh kelompok seni rupa baru  yang kemudian gencar disebut  Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1975). …ketika pameran ini berlangsung pada saat itu sebutan instalasi belum ada hingga Sanento Yuliman, seorang kritikus seni  menggunakan kata “instalasi” pada tahun 1989 (Mikke Sutanto, 2003:118)